Semarang, Kabarku.net – Dua rumah sakit swasta di Kota Semarang belum lama ini dilaporkan ke Polda Jawa Tengah dengan dugaan malapraktik yang menyebabkan pasien meninggal dunia.
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (Perdahukki) Cabang Jawa Tengah, dr. Hansen, SH, MH, kejadian tidak diharapkan (KTD) seperti cacat atau meninggal dunia terhadap pasein dapat terjadi karena kelalaian medis atau suatu risiko medis.
Risiko medis dibagi dua kelompok yakni risiko medis yang dapat diduga (foreseen) dan risiko medis yang tidak dapat diduga (Unforeseen).
“Resiko medis yang dapat diduga contohnya faktor komorbid pasien antara lain, hiperglikemia, hipoglikemia, kelainan kongenital yang telah diketahui sebelumnya, dan lain-lainnya,” kata dr Hansen, Sabtu (13/3).
Sedangka risiko medis yang tidak dapat diduga, lanjutnya semisal alergi obat-obatan tertentu yang tidak diketahui sebelumnya atau memberikan obat-obatan tertentu yang diketahui bahwa obat yang diberikan sudah sesuai jenis dan takaran dosisnya, namun isinya masuk faktanya berbeda.
Untuk menanggulangi masalah itu, lanjut Hansen, perlunya mengetahui informed consent. Informed artinya diinformasikan dan consent artinya menyetujui.
Langkah ini merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien yang mengerti hukum atau keluarganya bila pasien tidak mengerti hukum kepada dokter untuk dilakukannya tindakan medis yang risikonya telah diketahui dan disetujui oleh pasien atau keluarganya
“Informed consent akan menjadi suatu bentuk perjanjian dalam dunia kedokteran (perjanjian terapeutik), yang pada prinsipnya mengikuti ketentuan yang ada dalam perjanjian pada umumnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata,” jelasnya.
Baca juga :
- Ganjar Berhasil Nyalakan Api Abadi Mrapen yang Padam Sejak 2020
- PKS Jateng Santuni Anak Yatim
- Ganjar Akan Hidupkan Api Abadi Mrapen yang Padam Selama 6 Bulan
- Evalusi Uji Coba PTM di Jateng, Ganjar Menyatakan Bagus
- KSR PMI Unit Unisri Akan Gelar Webinar Kesehatan Mental
Melalui informed consent bertujuan memberikan upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan guna penyembuhan.
Hal itu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sebagai bentuk perikatan upaya penyembuhan bukan perikatan untuk memberikan jaminan kesembuhan.
“Memang tidak semua tindakan medis berisiko tinggi memerlukan informed consent. Khususnya dalam kondisi yang mengancam nyawa dan/atau dapat menimbulkan kecacatan, maka informed consent dapat diabaikan,”ungkapnya.
Dalam hal ini, menyelamatkan nyawa seseorang merupakan kewajiban dokter berdasarkan perintah undang-undang. Namun, demikian, tanpa adanya informed consent, bisa saja, terjadi perbuatan melawan hukum. Sehingga pasien atau keluarga yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata bila tanpa adanya kesepakatan.
“Namun, yang perlu di ingat, perikatan antara dokter dan pasien adalah perikatan terapeutik, perjanjian upaya penyembuhan, bukan memberikan jaminan kesembuhan,” tandas Hensen.
Menurutnya, apabila terjadi kelalaian medis yang menyebabkan hilangnya nyawa atau kecacatan juga dapat dibawa ke ranah hukum pidana. Untuk itu bisa saja dokter dikenai pertanggungjawaban baik secara hukum pidana maupun hukum perdata.
Oleh karenanya, Hansen meminta dokter maupun rumah sakit memberikan informasi detail dan jelas serta memiliki dasar dan dipahami oleh pasien atau keluarganya. Baik itu secara penjelasan lisan maupun melalui dokumentasi di rekam medis sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
Rekam Medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti di persidangan. Hal ini sesuai Pasal 6 PMK Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
“Setiap tindakan medis mengandung risiko baik rendah hingga tinggi yang berupa kecacatan atau kematian, maka setiap pasien yang akan mendapatkan tindakan medis, terutama risiko tinggi tentu memiliki hak untuk diberitahu sejelas-jelasnya sebagai dasar untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri,” jelasnya.
Bagaimanapun informed consent bukanlah suatu syarat administratif RS, yang tidak menghapuskan adanya tanggung jawab hukum dokter dalam hal terjadi kelalaian medis yang dapat dibuktikan.