Semarang, Kabarku.net – Hujan deras yang mengguyur Kota Semarang dalam beberapa hari terakhir menyebabkan sejumlah wilayah dilanda banjir dengan ketinggian ada yang mencapai 1,5 meter. Selain banjir juga terjadi tanah longsor.
Bencana banjir dan tanah longsor itu, semata karena hujan deras atau ada faktor lainnya.
Menurut pengamat lingkungan dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang Amri Zarois mengatakan ada multi faktor yang jadi pemicu.
Faktor cuaca akstrim merupakan rantai panjang dari perubahan iklim dari maraknya deforestasi. Berkurangnya hutan berimbas langsung pada konversi karbon menjadi oksigen, akhirnya emisi gas rumah kaca meningkat dan memperburuk perubahan iklim.
“Untuk di kota Semarang karena imbas dari banyaknya lahan kritis dibagian hulu, akibat pembukaan lahan di wilayah sub urban (Semarang atas) untuk berbagai keperluan, mulai dari pemukiman, industri, dan lain-lain,” katanya dilansir sigijateng.id, Minggu (7/2).
Dia mencontohkan banyaknya konversi lahan menjadi perumahan, misal BSB, Mijen, tembalang dan lain lain. Hal ini harus segera dikaji kaitannya dengan kebijakan pengendalian lahan kritis.
Selain itu juga sistem tata kelola lingkungan adalah salah tafsir dari pemerintah. Tata kelola lingkugan hanya dipandang dari segi estetika.
Baca juga :
- Ganjar Ingatkan Kepala Daerah Bahwa Kekuasaan Ada Batasnya, yang Langgeng Kekuasaan Tuhan
- KSR PMI Unisri Solo Gelar Baksos Bagi Sembako
- Sebelum Belajar Tatap Muka, Ganjar Usulkan Siswa Divaksin Covid
- Ganjar Lantik 17 Bupati/Wali Kota Secara Langsung dan Daring
- Kota Salatiga Raih Predikat Kota Paling Toleran Se-Indonesia
“Tata kelola lingkungan ditafsirkan dengan mempersolek kota, membangun taman, tempat wisata,” tandas Amri.
Sedangkan pola konservatif, adaptif, dan mitigasi atau basis pengurangan risiko bencana (PRB) tidak menjadi prioritas pemerintah.
Harusnya, lanjut Amiri, pemerintah melakukan konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat pengerukan, pembersihan sampah dan lain lain. Memperhatikan perlunya membangun embung, dam (bendungan) kecil di wilayah stategis potensi polder (pengendali banjir).
Menata lingkungan bukan hanya soal keindahan saja, tapi juga untuk memperkuat fungsi perlindungan untuk kehidupan warganya.
“Jadi, tidak hanya menata sungai diartikan membangun taman sungai, membuat air mancur yang ada lampu disconya saja,” tegasnya.
Mungkin saja, lanjut Amri, beberapa proyek besar misalnya tol laut (giant seawall) yang mulai berjalan bisa juga mempengaruhi volume air laut yang naik akibat timbunan material.
Amri juga memprediksi bisa jadi faktor klasik permasalahan lingkungan seperti sampah yang menunpuk dan pembuangannya yang masih sembarangan.
“Faktor ini juga menilik bagaimana peran masyatakat perlu ditinjau dalam perbaikan lingkungan, pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian serta akses partisipasinya,” ucapnya.
Selain sampah dan eksploitasi lahan, Amri menambahkan faktor lainnya adallah land subsidance (penurunan muka tanah) akibat pesatnya pembangunan gedung-gedung besar dan infrastrultur lainya akhir-akhir ini.
“Semua pihak harus mau mengakui dosa dan ‘ngrumangsani’ (introspeksi) salahnya. Kemudian duduk bersama, membuat kajian stategis perbaikan lingkungamdari hulu hingga hilir,” tandas Amri.
Sementara itu, menurut pakar kajian tentang air dari Fakultas Sains dan Teknologi (SAINTEK) UIN Walisongo Semarang, Rusmadi ada tiga faktor penyebab utama banjir dan longsor terjadi.
Tiga faktor itu, curah hujan yang tinggi, kondisi drainase perkotaan masih kurang ideal, dan daerah resapan air di hulu kondisinya memprihatinkan.
“Curah hujan ekstrem terjadi secara abnormal yang mengakibatkan perubahan cuaca tak menentu dan memicu terjadinya perubahan siklus hidrologi (perubahan arus air),” ujar Rusmadi.
Rusmadi menyarankan pembuatan sistem drainasi terpadu dari hulu ke hilir dengan mempertimbangkan resapan air ke dalam tanah. Terkait drainase perkotaan yang kurang memadai perlu adanya sistem drainase terpadu, dari hulu ke hilir dengan tetep mempertimbangkan recharge (resapan) air ke dalam tanah.
Pembuatan konsep resapan air itu menjadi penting agar saat nanti musim kemarau tiba tidak ada kekurangan air dan saat musim hujan tiba tidak ada banjir.
“Jangan sampai pada saat nanti musim kemarau malah kekurangan air. Kita jangan hanya fokus membuang air agar tidak banjir, tetapi juga memikirkan bagaimana agar air ini masuk ke dalam tanah, sebagai persediaan di musim kemarau,” jelasnya.
Langkah ini, imbuh Rusmadi, perlu diikuti dengan konservasi daerah resapan air secara masif di Kota Semarang dengan melibatkan masyarakat.
“Bisa saja perlu dicek kembali ketaatan masyarakat terhadap Koefisien Dasar Bangunan (KDB) apakah menyisakan resapan atau tidak,” katanya.