Semarang, Kabarku.net – Perjuangan penyintas Covid-19 agar bisa sembuh dari penyakit yang belum ada obatnya tersebut tentunya menarik. Bisa kita jadikan pembelajaran
Penyintas Covid-19 yakni dokter wanita di Blora dr. Galih Puspitosari dan wartawan senior di Kota Semarang Insetyonoto membagikan kisah perjuangan melawan penyakit tersebut.
Galih Puspitosari, 33, menuturkan sejak dinyatakan positif Covid-19 sampai dengan negatif membutukan waktu 67 hari.
Selama dua bulan lebih, terpaksa harus menjauhi keluarganya, agar tidak ikut terpapar virus Corona tersebut.
“Sempat merasa stress juga. Alhamdulillah, bissa sembuh,” katanya dilansir dari Sigijateng.id.
Awalnya gejala terkena Covid-19, menurut Galih, mengalami demam tinggi. Semula mengira karena kelelahan akibat tugas sebagai dokter yang menangani pasien.
Namun, setelah satu hari demam masih tinggi, menyadari kalau sebagai tenaga medis mempunyai resiko tinggi terpapar Covid-19, maka langsung melakukan isolasi mandiri di rumah, supaya tidak kontak dengan anggota keluarga.
Ketika ia melakukan CT Scan di rumah sakit, di dada terdapat glass ground opacity yang merupakan tanda gejala Covid-19.
Galih pun, kemudian Galih, memutuskan untuk melakukan isolasi di rumah sakit. Serta menjalani perawatan yang cukup lama.
“Berat saat harus mengambil keputusan untuk rawat inap di ruang isolasi di rumah sakit. Sendirian di dalam kamar tanpa AC dan badan terasa demam terus,” jelasnya.
Berada di ruang sendirian, Galih mengakui ada perasaan sedih dan kecewa, bahkan sempat stress, karena tidak sembuh-sembuh. Namun, dirinya sadar untuk terus bertahan dan bangkit.
Setelah berjuang selama 67 hari dan menjalani jalani 10 kali test swab, Galih pun sembuh dari penyakit yang belum ada obatnya itu.
“Alhamdulillah 16 Juni 2020 hasil test swab hasilnya egatif dan dinyatakan sembuh,” katanya.
Lamanya penyembuhan, menurut Galin, setelah membaca teori, kemungkinan masih ada badan virus mati yang masih tersisa dalam tubuh. Sehingga harus tetap mematuhi protokol kesehatan sampai swabnya dinyatakan negatif dua kali berturut-turut.
Menurut Galih, indikasi Covid-19 masing-masing orang berlainan. Ada yang tidak demam, tapi saat test swab positif. Bahkan ada yang tidak bergejala, saat test swab positif.
Baca juga :
- Ormas Tionghoa di Indonesia Bantu 1 Juta Ton Beras dan 20 Juta Masker
- Arab Saudi Wajibkan Jamaah Haji 2021 Vaksin Covid-19
- Saat Ganjar dan Risma Nikmati Pijatan Terapis Disabilitas
- Demokrat Jateng Tak Akui Hasil KLB yang Tetapkan Moeldoko Ketua Umum
- Tim MRI-ACT Beri Pelayanan Kesehatan Warga Korban Banjir Semarang
Hal ini tergantung di mana virus Corona menempel di reseptor. Jika menempel di mata maka gejalanya ada di sekitar mata, jikadi tenggorokan maka akan ada gangguan pernafasan. Jika di sistem pencermaan maka akan muncul mual muntah dan lain-lain.
“Covid-19 bukan merupakan penyakit sosial. Ini merupakan penyakit infeksius yang bisa menyerang siapa saja. Resiko tinggi ada di tenaga medis dan beberapa orang yang sering kontak dengan banyak orang,” jelasnya.
Untuk itu Galih mengimbau, masyarakat tidak perlu mengucilkan orang sakit Covid-19. Menjauhi secara fisik memang harus dilakukan agar tidak tertular.
“Pesan saya, masyarakat jangan takut test swab Covid-19 Bila diketahui sejak dini akan cepa terapi dan harapan hidupnya lebih bagus, daripada takut dan menolak diperiksa,” sarannya.
Galih menegaskan, Covid-19 nyata adanya, bukan sekedar berita dan tulisan, sehingga masyarakat diminta untuk tetap waspada.
“Jalani hidup dengan sesuai protokol kesehatan, 3 M, memakai masker, menjaga jarak dan menghidari kerumuman, serta mencuci tangan dengan sabun,” ujar dr. Galih.
Sementara, Insetyonoto, 54, yang saat ini menjadi kontributor Gatra yang bertugas di wilayah Kota Semarang Jawa Tengah, menyatakan lebih dari satu bulan untuk sembuh dari Covid-19.
“Saya sembuh setelah menjalani perawatan di rumah sakit, isolasi di gedung Diklat Pemkot Semarang dan isolasi di rumah selama 40 hari dan enam kali test swab,” jelas dia.
Wartawan senior yang akrab dipanggil Totok ini, dinyatakan positif Covid-19 pada 5 November dan dinyatakan sembuh 14 Desember 2020. Namun, telah merasakan badannya panas dan makan tidak enak sejak 28 Oktober.

“Butuh perjuangan dan semangat yang kuat. Terlebih bagi mereka yang penyakit bawaan, saya seperti saya yang memiliki riwayat penyakit paru-paru atau TBC,” ujarnya.
Awalnya, Totok mengaku badanya mengalami panas dengan suhu mencapai 38 derajat Celsius. Saat periksa ke dokter didiaknosa menderita tipus. Meski sudah mengkonsumsi obat tipus dari dokter, panas tidak kunjung turun.
Setelah menjalani test swab di Puskesmas Tlogosari Kulon, Pedurungan Kota Semarang, hasilnya positif Covid-19. Begitu positif langsung menjalani perawatan di Rumah Sakit Wongso Negoro (RSWNU) Kota Semarang.
Sedangkan istri dan anak pertama yang juga dilakukan test swab hasilnya positif, sedang anak kedua yang juga di test swab hasilnya negatif.
Namun, karena istri dan anaknya orang tanpa gejala (OTG) dan kondisi tubuh sehat, maka hanya menjalani isolasi di rumah.
“Selama menjalani perawatan di ruang isolasi RSWN, saya sulit tidur. Sudah saya isi dengan salat, zikir, mengaji, salawata, namun tetap sulit tidur. Setelah diberi obat tidur, sasya bisa memejamkan mata,” ujar Totok.
Setelah 11 hari RSWN dan kondisi badan terasa enak, meski masih positif, Totok dipindah ke tempat isolasi gedung Pendidik dan Latihan (Diklat) Pemkot Semarang.
Di tempat isolasi ini suasana lebih baik, dibandingkan saat di rumah sakit, karena bisa ke luar kamar dan berjemur matahari serta berolahraga di lapangan, bersama penderita Covid-19 lainnya.
Bedanya kalau isolasi di Diklat, sudah tidak mendapatkan obat rutin setiap hari. Kalau ada keluhan sakit dan butuh obat disampaikan kepada perawat jaga untuk dikonsultasikan ke doktor.
Meski masih positif Covid-19, atas izin Direktur RSWN dr. Susi Herawati, tanggal 1 Desember 2020, dia dizinkan pulang untuk melanjutkan isolasi mandiri di rumah.
Saat itu istri dan anaknya sudah negatif. Totok tinggal di kamar berbeda dengan istri dan anaknya.
“Alhamdulillah di rumah saya bisa tidur nyenyak. Mungkin secara psikis saya lebih tenang dan nyaman, dekat bersama keluarga. Dan meski tidak satu kamar ada teman yang bisa diajak bicara. Lain halnya saat diisolasi, tidak ada teman bicara,” katanya.
Pada 4 Desember 2020 melakukan test swab Puskemas Tlogosari Kulon lagi. Dan setelah menunggu selama 10 hari, pada 15 Desember petugas Puskemas melalui Whatsapp menginformasikan hasilnya negatif.
“Lega rasanhya mendapat kabar hasil test swab negatif Covid-19,” tandasnya.
Totok mengatakan, Covid-19 memang benar-benar ada dan bisa menyerang siapa saja, karenanya lebih baik menghindari. Caranya dengan menjalankan protokol kesehatan dan menjaga kesehatan tubuh.
“Saya sudah berusaha menghindari dengan mentaati protokol kesehatan, 3M, tapi masih kena. Apalagi, bagi mereka yang abai atau menyepelekan 3M, bisa jadi potensi tertularnya lebih besar,” saran Totok.