
Sirah Nabawiyah Episode : 4
Kabarku.net – Saat usia Nabi Muhammad enam tahun, ibundanya Aminah wafat, meninggalkan Nabi kecil untuk selama lamanya.
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam kemudan berada dalam pengasuhan sang kakeknya, Abdul Muththalib.
Abdul Muthalib adalah sosok kakek yang sangat mencintai cucunya. Disebutkan oleh para ahli sirah Nabawiyah bahwa Abdul Muththalib punya kebiasaan duduk-duduk di bawah naungan Ka’bah.
Dia memiliki tempat duduk khusus dari permadani yang tidak boleh seorangpun duduk di situ kecuali Abdul Muthalib. Jika anak-anak Abdul Muthalib datang, mereka hanya duduk di sekitar permadani tersebut.
Tidak ada satupun dari mereka yang berani duduk di permadani Abdul Muththalib disebabkan wibawa dan karisma yang dimiliki olehnya sehingga orang-orang segan terhadapnya.
Suatu hari Muhammad kecil pernah duduk di atas permadani milik kakeknya. Melihat kejadian itu, serta merta paman-paman beliau (anak anak Abdul Muthalib) melarangnya.
Namun Nabi tetap duduk dan dibiarkan saja oleh Abdul Muththalib, bahkan kakeknya menggendongnya dan mendudukkan Nabi disampingnya, karena Abdul Muththalib sangat mencintainya, sebagaimana dahulu Abdul Muthalib mencintai Abdullah, ayahanda Nabi. terlebih Nabi hidup dalam keadaan yatim piatu.
Suatu hari saat paman-paman Nabi melarang Muhammad kecil duduk di atas permadani itu, tapi Abdul Muthalib, membelanya dan mengatakan, “Biarkan cucuku ini, sesungguhnya suatu saat dia akan jadi orang besar”
Subkhanallah,
Ada pelajaran mahal dan menarik yang bisa diambil, ibroh dari sosok kakek Abdul Muthalib, bagi kita yang saat ini punya peran sebagai ayah ataupun peran sebagai kakek.
Baca juga :
- Sebelum Belajar Tatap Muka, Ganjar Usulkan Siswa Divaksin Covid
- Ganjar Lantik 17 Bupati/Wali Kota Secara Langsung dan Daring
- Kota Salatiga Raih Predikat Kota Paling Toleran Se-Indonesia
- Agung BM : Wali Kota Semarang Agar Prioritas Tangani Banjir
- Berkah Bulan Februari Guru SD Muhammadiyah 1 Solo Novi
Lihatlah bagaimana Abdul Muthalib, seorang kakek yang punya harapan dan doa mulia untuk cucu yang sangat dicintainya.
Bukankah begitu banyak kita temui hari ini, seorang ayah atau seorang kakek yang ke luar dari lisannya kalimat celaan, makian, dan laknat untuk anak atau cucunya.
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang keluar dari lisan mereka adalah bagian dari doa.
Mengapa lisan kita begitu kaku untuk mendo’akan anak keturunan kita?
Mengapa kita tidak mengganti celaan, makian, laknat dengan doa doa mulia untuk para generasi penerus kita?
Saudaraku,
Mari kita lihat sentuhan pendidikan yang lain dari seorang Abdul Muthalib. Saat Rasulullah dilahirkan, Abdul Muthalib memberi nama cucunya itu dengan Muhammad yang artinya terpuji.
Nama Muhammad saat itu adalah nama yang tidak lazim di kalangan masyarakat Qurays.
Nama muhammad saat itu adalah nama yang tidak dikenal di tengah tengah masyarakat Arab.
Oleh karenanya kerabat kerabat Abdul Muthalib datang menemuinya dan berkata, “Wahai Abdul Muthalib, mengapa tidak engkau beri nama cucumu, seperti nama leluhur leluhur kita?
Abdul muthalib berkata dengan kalimat yang luar biasa:
“Aku memberi dia nama Muhammad karena aku berharap cucuku ini di puji oleh penghuni langit dan dipuji oleh penghuni bumi.”
Subkhanallah,
Bukankah terbukti apa yang Abdul Muthalib harapkan dari doa doa mulianya itu. Kelak Muhammad kecil menjadi orang besar.
Suatu hari nanti Muhammad kecil mencatatkan kebesarannya dalam lembaran lembaran sejarah yang penuh dengan keteladanan.
Muhammad kecil kelak menjelma menjadi pemimpin bumi, pemimpin manusia, bahkan pemimpin para nabi dan rasul yang dipuji oleh penduduk langit dan penduduk bumi, karena kesempurnaan akhlaknya.
Dipuji penduduk langit dan bumi karena keteladanannya.